This is default featured post 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Senin, 25 Oktober 2010

TIGA PANGERAN PEGAGAN ILIR


Legenda Marga Pegagan Ilir (PIS) II ini, berpegang pada hasil penyelidikan Haji Zainal Arifin, Pembarap Marga (1943-1945), dibantu Haji Muhamad Kafen, putera bungsu pangeran haji Malian Pasirah yang ke lima.

Marga PIS II telah didirikan secara resmi sekitar tahun 1870, berkedudukan di Sungai Pinang dibawah Pimpinan Pesirah. Sebelumnya, lingkungan ini berada dibawah kekuasaan seorang jenang yang berkedudukan di Talang Pegadungan. Lokasi tempat itu sekarang berada sekitar tepi sungai Risan Jenang dusun Talang Balai. Pergantian ini terjadi karena terjadi pergantian pada kesultanan palembang.Darussalam.

Selama masa interegnum akibat pergantian itu Jenang berganti menjadi Pasirah dan dalam masa transisi itu, jenang masih tetap dipakai. Maka yang pertama menjabat pasirah pengganti jenang di talang pengaduan risan jenang talang balai itu adalah wujud yang mangaku jabatannya selama satu tahun delapan bulan dan digantikan oleh onong yang meminpin selama enam bulan. Penggantinya ialah bahar yang juga memangku jabatan selama delapan bulan.

Pimpinan yang ke empat adalah abdul halik, yang dikenal pula dengan nama pangeran liting memproleh gelar pangeran wirakrama. Inilah pimpinan yang paling lama sepanjang sejarah marga itu. Jabatan kepala marga dipegang pangeran liting selama tiga puluh enam tahun. Pangeran liting diganti puteranya pangeran Malian memimpin selama sembilan belas tahun, diganti depati Muhamad nur putera Malian menjabat selama lima tahun. Selanjutnya secara berturut-turut pimpinan Marga PIS II dipimpin oleh Thalib bin Ahyat bin Liting, Jemahir dari Ulak Kerbau, kembali Muhamad Nur, kembali lagi Jemahir, Sihar dan Abdulmalik.

Tokoh lain dari pegagan ilir yang tidak dapat di pisahkan dari pangeran liting adalah menantunya, Muhamad Nuh. Ia pangeran dari Tanjung Sejaro, Pegagan Ilir suku satu. Menantu pangeran Liting ini, antara lain melanjutkan pembuatan terusan bujang setelah sungai rotan sampai ke pemulutan ilir.

Tiga Pangeran

  1. Pangeran Liting

Pada awal pangeran Liting akan menjadi pasirah, seorang controleur Belanda mengumpulkan masyarakat pedusunan dalam Marga itu. Kepada mereka diserukan agar segera memilih seseorang Pasirah dan pimpinan mereka karena pasirah lama telah berhenti dari jabatannya. Ditanyakan kepada masyarakat siapa yang hendak di pilih menjadi pimpinan mereka. Pada waktu itu seluruh yang hadir menjawab bahwa mereka setuju apabila Abdul Khalik atau Liting menjadi pimpinan mereka. Pilihan mereka hanya pada tokoh yang satu itu saja.

Ketika ditanya mengapa memilih Liting? Mereka menjawab, alasannya adalah karena Liting bersifat jujur dan ia dapat membaca dan menulis. Setelah permufakatan dikukuhkan, mereka mencari tokoh yang di maksud. Akan tetapi ia tidak berada di ruagan itu. Mereka menduga bahwa kalau tidak disawah, ia pasti sedang di kebun mengambil kayu. Musyawarah dihentikan, seluruh hadirin pergi mencari Liting.

Dugaan mereka benar, mereka mendapatkan Liting sedang berada di sawah mengambil kayu dan mengajak nya segera pulang karena di panggil untuk di jadikan Pasirah. Setelah sampai di hadapan Coutroleur, Liting menyatakan kepada coutroleur itu bahwa ia tidak dapat tulis baca huruf latin. Ia hanya pandai tulis baca huruf Arab dan surat ulu saja. Kedua kemampuan itu ternyata sudah di pandang cukup, dan Liting di angkat menjadi pasirah. Sementara itu kayu yang telah berhasil ia kumpulkan dari kebun tadi di bawah pulang. Kayu yang di ambil nya ialah batang pohon palas, disimpan dan di jadikan benda pusaka zuriatnya. Terakhir, benda itu di simpan di atas loteng Uma Beso dan terbawa ke Sirah Pulau Padang bersamaan dengan pemindahan rumah tersebut. Benda itu ikut terbakar ketika Uma Beso terbakar. Sekarang rumah itu tinggal puing-puingnya saja.

Selama masa jabatannya sebagai Pasirah, nama Pangeran Liting cukup harum baik dipandang oleh rakyat maupun oleh pihak colonial atasannya. Selama ia memegang tampuk pimpinan Marga PIS II, telah berhasil di angkat menjadi pangeran dan mendapatkan tanda jasa bintang emas, dan terakhir mendapatkan bintang besi.

Salah satu usahanya yang terbesar ialah memimpin pembuatan dan penggalian Terusan Bujang yang membentang dari hulu dusun Talang Balai menuju Ketapang, sampai disungai Rotan di lanjutkan oleh menantunya Muhamad Nuh (Pangeran Marga Pegagan Ilir Suku I) ke pemulutan Ilir. Ia menghentikan sampai sungai Rotan, karena dusun itu merupakan batas akhir dari Marga Pegagan Ilir Suku II yang di pimpinnya. Ketika di buat, lebar sungai itu hanya dua setengah meter saja.

Terusan ini di kerjakan secara turunan ayam (bergotong royong) oleh rakyat tua-muda laki-laki perempuan, dan terutama para bujang. Oleh karena itu sungai terusan ini disebut dengan Terusan Bujang. Sementara itu, Sungai Ogan yang asli berbelok-belok melewati dusun Sukapindah, Ulak kerbau, Kerinjing, Sukaraja, Mandiangin, Arisan gading, Tanjung Sejaro, Saka Tiga, terus kekanan menuju Muara Penimbung, Talang Aur, seterusnya Talang Pangeran, Ulak Kembahang sampai Pemulutan Ilir sampai bertemu dengan Terusan Bujang.

Sungai Ogan asli semakin dangkal dan di penuhi oleh pasir, sedangkan Terusan Bujang yang lurus airnya sangat deras sehingga mengalirkan air Sungai Ogan. Pembentukan terusan ini sangat bermanfaat dalam mengairi persawahan di kanan dan di kirinya. Dengan begitu, sawah ladang menjadi lebih subur dan memberi keuntungan yang besar. Dusun dan lebak yang memperoleh manfaat langsung dari terusan ini antara lain dusun Kotadaro, ketapang, Jagolano, Rantau Panjang, Sejangko, dan lain-lain.

Penghasilan sawah menjadi meningkat dan terkenal dengan sebutan Beras Pegagan. Ini merupakan salah satu jasa Pengeran Liting, pesirah ke empat Marga PIS II.

  1. Pangeran Muhamad Nuh

Pangeran Nuh, di kenal pula dengan nama Pangeran Anom Kesumo , putera pertama Depati Dece dengan istrinya Rokeba. Ia menjadi kepala Marga Pegagan Ilir Suku I menggantikan Depati Ubit (putera Dece dari istrinya yang lain) yang meninggal. Namanya di kenal dan di bicarakan sampai keluar daerah, baik dikalangan bawah maupun dikalangan atas. Ia memiliki keunggulan sebagai admistrator ulung, memilliki jaringan dan persahabat yang luas, dan pekerja yang ulet.

Selain membantu mertuanya membuat Terusan Bujang, salah satu sifat yang menonjol dari pangeran Muhamad adalah keunggulan pada bidang admintrasi jaringan kerja yang luas. Diantara karya besar yang ia wariskan yang telah dan akan di nikmati oleh sepanjang masa, ialah Terusan Bujang (Sungai Kedukan) sepanjang lebih kurang 15 kilo meter. Berpangkal dari desa talang Balai dan berujung didesa Sungai Rotan, yang memberikan keuntungan bagi pengairan persawahan daerah pegagan secara kesuluruhan, disamping membebaskan desa-desa di sepanjang pinggiran sungai dari luapan sungai Ogan. Pekerjaan besar itu di kerjakan meneruskan karya mertuanya yang memulai dari Marga Pegagan Ilir Suku II.

Pangeran ini melakukan kerjasama pula pemerintah Marga Saka Tiga membangun pasar Indralaya yang merupakan pusat perekonomian daerah ini yang vital dan berkembang pesat sampai sekarang. Ia menjadikan Lebung Karangan sebagai waduk, sehingga persawahan ribuan di sekitarnya terbebas dari bahaya kekeringan.

Tidak dilupakan pula, jalan raya yang sekarang terbentang mulus, sekitar 20-an kilo meter panjangnya, adalah buah tangannya pula. Pada mulanya hanya jalan setapak, kemudian oleh pihak berwenang dipercayakan oleh kepadanya membangunnya menjadi jalan raya. Jalan itu menghubungkan kota Tanjung Raja ke simpang Timbangan juga gerbang Ogan dan komering.

Ia bersabat baik dengan Residen Palembang yang memerintah waktu. Demikian erat persahabatan mereka sehingga ketika Residen ini pindah ke Banjarmasin, mereka tidak putus komunikasi dengan saling kirim surat. (sutar-surat disimpan rapi pada arsip keluarga salah sorang keturunannya). Pangeran Nuh bersahabat baik pula Hoofd Demang Cek Gus yang dikenal juga sebagai Hoofd jaksa (orang pribumi tertinggi pangkatnya pada zamannya di palembang). Dengan Hooft jaksa ini hubungan di tingkatkan lagi melalui tali pernikahan putera-puteri keduanya, RH Mohd. Ali dengan mahani. Sahabat baik terkenal Pangeran Nuh lainny. Ialah Demang Abdulrozak, terakhir menjabat Residen dan merupakan Residen terakhir pula dalam sejarah Karesidenan Palembang. Mereka pun meningkatkan hubungan dengan berbesanan.

Sebagai administrator ulung, ia membawa Marga Pegagan Ilir Suku I menjadi harum namanya secara luas. Di tempat ini pernah berdiri bank Rakyat (Volksbank), disamping desa yang pertama kali memperoleh akses telepon. Kejayaan marga ini memang terjadi pada masa kepemimpinan Muhamad Nuh.

Sejak kepemimpinan Muhamad Nuh marga ini memiliki kantor yang luas dengan tenaga-tenaga admistasi yang terampil dan telaten, sehingga konon, banyak kantor marga lainnya mengirim orangnya untuk di sini. Kantor nya sendiri merupakan satu-satunya kantor Marga yang memiliki hubungan telepon (sementara pesawat dan hubungan telepon itu sendiri masih “barang” barang langka pada zamannya). Dengan berbagai kemajuan yang diperoleh, menyebabkan Tanjung Sejaro sering mewakili pedesaan secara untuk kunjungan daerah para petinggi pusat. Tidak kurang 3 Menteri dan 2 Duta Besar pernah berkunjung kemari. Selain berdiri Bank Rakyat, juga telah memiliki Sekolah Rakyat (Vervoks-school) yang sangat tua. Vervoks School yang terdapat di desa ini adalah yang tertua di Sumatra setelah di Padang. Di bangun pada tahun 1916 dan hingga sekarang masih tetap utuh. Tanjung sejaro adalah ibu kota Marga dan bukan kecamatan, tetapi tempat ini menjadi tempat kedudukan para Asisten Demang.

Pangeran Nuh meninggalkan sebuah Rumah Bari yang besar, luas dan anggun. Terbuat dari tulang-tulang unglen dan papan tembesu rumah itu salah seorang ahli warisnya dan salah satu kebanggaan pariwisata Sumatra Selatan.

Pangeran Nuh harus pula dicatat sebagai seorang kakek yang telah mempersembahkan seorang pahlawan bagi perang kemerdekaan RI. Ia adalah Rustam Effendi, putera Pertama Depati Mohamad Nasaruddin dan bagi pangeran Nuh adalah cucu pertama laki-laki. Namanya kemudian manjadi nama salah satu jalan di kota palembang.

  1. Pangeran Haji Malian

Pangeran Haji Malian adalah putera Pangeran Liting, pasirah ke lima. Ia dipilih langsung oleh rakyat pada tahun 1908. tokoh ini dikenal sebagai orang yang sangat alim. Memperoleh pendidikan Islam di Mekkah sejak berusia muda, dan tinggal pada Syi’if Ali, berguru kepada Syaikh Umar Sumbawa. Ketika kembali ke tanah air telah membawa dua orang puteri dari masing-masing satu dari istri pertama yang meninggal ketika di Mekkah, dan seorang lagi dari istri ke dua.

Ketika menggantikan ayahnya sebagai pasirah, ia telah di kenal sebagai kiyai di lingkungan Marga dan daerah sekitarnya. Meski memangku jabatan sebagai Pasirah yang selalu di sibukkan oleh tugas rutin Marga, ia tetap menyempatkan diri untuk menyempatkan diri untuk menyampaikan dakwah dan menyelenggarakan pengajian, cawisan, dan sebagainya di dusun tempat tinggal atau dusun lain dalam Marganya.

Ia sangat disegani dan ditakuti oleh mereka para pelanggar kejahatan dan pencurian. Dengan dengan ilmu yang dimilikinya ia dapat membuktikan apakah ia dapat membuktikan apakah orang itu yang mencuri atau bukan. Menurut cerita, meski si pencuri berusaha segala cara tidak mengakui perbuatannya, tetapi apabila telapak tangan nya di pegang akan keluar asap sebagai tanda memang mencuri. Si pencuri mengakui perbuatannya. Bila memang tidak mencuri, tidak keluar asap dan merasakan apa-apa. Ia dapat pula menaklukkan orang yang memiliki ilmu kebal seperti tidak mempan senjata atau tidak merasakan sakit bila dipukul. Ia dapat menjadikan tawar ilmu seperti itu.

Salah satu kebiasaannya ialah secara terjadwal melakukan kunjungan kedusun-dusun di dalam Marganya. Apabila dusun yang dikunjungi itu dekat, ini menempuhnya dengan berjalan kaki, apabila jauh ia lakukan dengan menggunakan perahu tenda. Sambil menuju kerumah kerio ke suatu dusun ia memeriksa keadaan kebersihan dusun. Sesampai di rumah kerio biasanya ia telah di tunggu oleh masyarakat umum untuk mendengarkan ceramah serta cawisan. Apabila kunjungan dilakukan pada hari jum’at, ia langsung yang menjadi khatib dan imam shalat jum’at di dusun yang bersangkutan. Pendidikan agama keluarga yang menjadi perhatiannya yang serius. Ia mendidik putera-puterinya di lembaga pendidikan keagamaan seperti Islamiah Tanjung Raja, Al-Munawar Palembang, Jamiatul Khair dan Al-Irsyad Jakarta, dan ada di Mekkah mengikuti jejaknya.

Apabila Pangeran Liting meninggalkan karya monumental berupa sungai Terusan Bujang, Pangeran Haji Malian mewariskan lembaga pendidikan. Sekolah Islamiah Tanjung Raja lembaga pendidikan yang ia dirikan, dengan mendatangkan berpendidikan Saudi Arabia. Sekolah ini sampai sekarang masih ada dan telah di Hibahkan kepada Muhammadiyah. Meski ia di kenal sebagai pangeran dan seorang ulama, tetapi Haji Malian bukanlah merupakan sosok yang anker. Ia sangat akrab, dan memberikan pengajaran agama dengan cara yang santai seperti sambil minum kopi dan bercerita yang penuh hikmah.

Pangeran Haji Malian meletakkan jabatannya pada tahun 1927 karena merasa telah uzur. Ia berhenti dengan hormat, dan digantikan oleh puteranya Haji Ali Muhamad Nur.

PANGERAN BATUN


Menyaksikan langsung rumah Bari yang sekarang berdiri di kompleks permuseuman kota pelembang, banyak kisah menarik yang berkaitan dengan pemilik rumah itu, seorang pangeran dari Batun. Suatu kisah yang mungkin belum banyak di ketahui masyarakat umum.

Dengan penulisan ulang cerita ini, diharapkan dapat mengungkapkan sebagian peristiwa bukan saja menyangkut perjalanan rumah bari itu, tapi juga sekelumit pengalaman masyarakat OKI, tidak hanya berkaitan dengan kasus sosial tapi juga dalam kaitannya dengan peroses peradilan. Sumber utama penyusunan cerita ini adalah di peroleh dari Dinas Pariwisata OKI, karya Hadin Ali Pengeran Rumah Bari, serta dari sumber lain seperti beberapa peninggalan kesejarahan yang ada. Dengan pengungkapan peristiwa ini, selain untuk melengkapi data, juga meningkatkan minat kajian kesejarahan – terutama sejarah peradilan – secara lebih lengkap.

Pangeran dan Kekuasaannya

Pangeran Batun adalah salah seorang pejabat lokal yang secara kelembagaan berafiliasi pada kekuasaan kolonial Belanda. Ia berkuasa di Marga Sirah Pulau Padang Ogan Komering Ilir. Masa pemerintahannya berlangsung pada urutan ke delapan sepanjang masa pemerintahan Marga Sirah Pulau Padang. Gelar Pangeran di berikan oleh pemerintah kolonial Belanda kepada seorang pejabat tertinggi dalam pemerintahan Marga. Pejabat ini sebelumnya di pandang banyak berjasa kepada pihak kolonial.

Meski terlihat sederhana, untuk menjadi seorang pangeran yang baik di mata kolonial, bukanlah suatu masalah yang mudah. Disamping harus terpilih menurut versi orang Eropa itu, pangeran haruslah berasal dari seseorang yang memiliki kekayaan yang banyak, memiliki “ilmu” yang tinggi, serta kelebihan-kelebihan lain seperti kekuatan fisik dan mental. Dengan keberadaan itu, tidak sedikit orang menjadi iri terhadap keberadaan seorang Pangeran. Hal ini menimpa pangeran Batun, bahkan sangat mempengaruhi jalan kekuasaannya.

Pangeran Batun mempunyai banyak kegemaran. Salah satu di antara kegemarannya ialah bermain judi dan menyabung ayam. Pada masa itu memang banyak pejabat yang beranggapan bahwa bermain judi dan menyabung ayam itu sebagai hiburan.

Pangeran suka membagikan uang yang di perolehnya dari hasil judi dan sabung ayam kepada rakyat, terutama kepada gadis-gadis cantik. Banyak gadis yang tertarik dengan sifat pangeran ini. Tidak sedikit pula yang bersedia menjadi istri Pangeran. Keadaan ini menjadi keadaan umum, apalagi dikaitkan dengan sifat sebagian orang yang menginginkan kelimpahan materi berupa uang, harta serta mengharapkan jabatan atau status sosial.

Dari sekian gadis yang banyak berminat, pangeran memilih empat orang sebagai pendampingnya. Mereka cantik-cantik, tetapi seorang diantara mereka yang pada akhirnya menjadi duri dalam nasib kekuasaan Sang Pangeran. Ada seorang istrinya yang berhati dengki, bersifat tamak, serakah dan rakus.

Seorang pangeran adalah pemegang tampuk pimpinan Marga. Gelar Pangeran, seperti disebutkan terdahulu diberikan kepada seseorang kepala Marga yang telah banyak berjasa kepada pihak kolonial. Gelar lebih tinggi dari pangeran, adalah Raden, sedangkan gelar setingkat di bawah pangeran adalah Depati. Ketiga gelar ini, tidak terdapat dalam ketentuan kitab undang-undang Simbur Cahaya. Kekuasaan Marga di Sirah Pulau Padang, tempat Pangeran batun telah terbentuk sejak sekitar tahun 1800, dan dibubarkan bersama seluruh Marga lainnya di Sumatra Selatan pada melalui SK Gubernur No. 142/KPTS/III/1983, yang ditetapkan tanggal 24 Maret dan berlaku sejak 4 April 1983 (Ahad, 20 Jumadil Akhir 1403.

Istri Pangeran Batun

Suatu ketika, untuk mengatasi kekalahan dalam taruhan judi, Pangeran Batun menghabiskan judi, Pangeran Batun menghabiskan seluruh perhiasan istri muda. Kejadian ini membuat si istri muda menjadi marah. Dalam kemarahan itu dari hari ke hari mulai panik dan mulai menunjukkan tabiatnya yang asli. Terjadilah perselisihan antara pangeran dan istri mudanya itu. Pangeran Batun dengan sekuat tenaga berusaha mengumpulkan uang dengan harapan dapat menenangkan hati istrinya, juga berusaha menebus kekalahan nya di meja judi. Akan tetapi si istri belum dapat di yakinkan.

Sedang giat pangeran berusaha mengumpulkan dana, terjadilah peristiwa hilangnya pandai emas. Perahunya hanyut dan terdampar di ujung anak sungai. Pemiliknya tidak ditemukan. Peristiwa hilangnya pandai emas ini menjadi cerita yang sangat menggegerkan masyarakat. Selama ini, kawasan dalam Marga Panjang sangat aman dan jarang sekali terjadi pencurian, apalagi penghilangan orang. Tetapi dengan hilangnya pandai emas, masyarakat mulai merasa was-was. Bahkan mulai tumbuh saling menduga dan prasangka buruk.

Pandai emas itu memang orang baru bagi masyarakat Marga Panjang. Ia datang jauh, yaitu dari kota palembang. Ia datang ketempat itu menjajakan emas dengan perahu berkeliling dari satu dusun ke lain dusun. Meski penduduk dusun-dusun pada waktu itu masih sepi, bahkan banyak yang belum bernama. Tapi keadaannya yang aman menjadikan pandai emas menjadi leluasa bergerak kesana kemari membawa dagangannya.

Peristiwa pandai emas hilang telah terdengar oleh pihak kolonial belanda. Penyelidikan mulai dilakukan dengan gencar, dengan mengusut seluruh warga yang ada di daerah itu. Setiap orang dewasa di usut satu persatu. Mereka di bujuk ataupun di siksa dan diperlakukan dengan berbagai cara agar di peroleh informasi tentang pelaku penghilangan pandai emas itu. Tindakan pengusutan tidak membuahkan hasil sama sekali. Tidak diperoleh tanda-tanda yang menunjukkan ada warga yang terlibat.

Penyelidikan terus berlanjut dengan cara yang semakin tidak terarah (ngawur). Kesempatan ini merupakan peluang dari istri muda PangeranBatun untuk menyampaikan informasi melalui surat kaleng yang menuduh Pangeran Batun. Disebutkan, pangeran Batun yang memerintahkan dua orang penjudi bernama Ajir dan Rambut untuk membunuh pandai emas dan membuangnya di dasar sungai. Untuk melengkapi informasi sehingga lebih meyakinkan, disuruhlah orang untuk mengumpulkan tulang sapi yang dimasukkan kedalam kaleng lalu di kubur di lubuk sungai.

Pengadilan Pangeran

Peristiwa penghilangan pandai emas, akhirnya dibawa ke meja pengadilan. Tuntutan di ajukan semakin melebar karena mempertimbangkan kondisi Marga panjang yang dipimpin oleh Pangeran Batun.

Ajir dan Rambut, dua penjudi yang ditimpa tuduhan sebagai pelaksana penghilangan pandai emas mulai mengalami siksaan fisik dan mental. Kedua kaki dan tangannya di ikat. Apalagi malam tiba, keduanya di tempatkan di hutan rawa-rawa (rawang) yang sangat banyak nyamuk sehingga tubuh keduanya dipenuhi dengan bintik-bintik merah bekas gigitan nyamuk. Siksaan ini selanjutnya ditingkatkan dengan memindahkan mereka kedalam ruangan yang penuh dengan asap ataupun api, tetapi tetap tidak mengaku. Sementara itu rambut, karena tidak tahan menanggung siksaan terpaksa mengakui tuduhan yang ditimpakan pada dirinya.

Kembali pada pangeran Batun. Dari pemeriksaan awal di peroleh kesimpulan

  1. uang kas Marga telah kosong karena dipergunakan oleh pangeran untuk menutupi kekalahannya dalam berjudi;
  2. pangeran telah memerintahkan membunuh Pandai emas, dengan bukti adanya tulang berulang yang diperoleh dari dalam sungai;
  3. Pengakuan dari salah seorang tertuduh membenarkan keterlibatan pangeran sesuai tuduhan.

Setelah proses peradilan peadilan berlangsung dirumuskan “putusan sela” yang memutuskan bahwa “pangeran dihukum, jangan dilepaskan “ dan “ Digantung sampai mati”.

Seluruh harta benda pangeran Batun, termasuk rumah tempat tinngalnya disita dan dilelang dihadapan masyarakat umum. Rumah itu selanjutnya dibongkar dan dipindahkan ke samping benteng kuto besak di palembang yang kemudian di kenal umum sebagai rumah Bari. (menjelang tahun kunjungan wisata indonesia-visit indonesia year 1991 rumah itu di bongkar kembali dan dipindahkan ke kompleks permuseum palembang).

Mengajukan Banding

Putusan sela yang diputuskan pengadilan dirasakan sangat berat oleh pangeran, apalagi tidak disertai oleh bukti nyata. Tulang belulang yang di jadikan barang bukti, menurut keyakinannya adalah tulang-tulang sapi. Dengan mencucurkan air mata pangeran menolak keputusan pengadilan, dan mengajukan banding kelembaga pengadilan lebih tinggi di batavia (jakarta).

Dua orang lainnya, ajir dan rambut menuruti saja apa yang di putuskan pihak pengadilan. Mereka tidak bersekolah, dan masih sangat awam tentang seluk beluk hukum dan peradilan. Ajir yang tetap bertahan dengan pendirian tidak mengakui tuduhan ditimpakan kepada dirinya, dibebaskan dari tuduhan. Meski bebas, dalam keadaan sangat menderita akhirnya ia meninggal dunia. Sedangkan rambut di hukum masuk penjara di sawah lunto dengan masa hukuman selama 20 tahun. Beberapa tahun setelah hukuman berjalan, ia dipindahkan ke penjara nusakambangan sampai berakhir masa tahanan. Setelah kembali dari nusakambangan, Rambut telah sangat matang dan dewasa. Pada tangan kanannya di buat tato Anker (jangkar) yang di maksudkan sebagai simbol orang pernah mendapat hukuman berat. Dengan tanda itu dimaksudkan memudahkan orang mengenalnya bila ia melarikan diri, atau orang yang pernah menghuni penjara kelas tinggi .

Pangeran Batun, di bantu oleh pangeran Mat, mengajukan permohonan banding ke Batavia. Setelah di teliti lagi dengan cermat dan saksama, surat

permohonan banding pangeran batun dapat di terima dan di persidangkan.

Hasil persidangan memutuskan pernyataan bahwa pengajuan banding Pangeran diterima dan dibenarkan. Pangeran bebas dari hukuman gantung. Keputusan pada persidangan pertama pengadilan memutuskan “Pangeran dihukum, jangan dilepaskan” dan “Digantung sampai mati”. Setelah mengajukan banding serta permohonannya diterima pihak pengadilan maka keluar keputusan yang berbunyi “Pangeran dihukum jangan, dilepaskan” dan “Di gantung sapi mati”. (perhatikan letak koma pada rumusan pertama dan perubahan kata pada rumusan kedua).

Keputusan ini tentu sangat menguntungkan Pangeran karena menyangkut hidup dan matinya. Selanjutnya, Pangeran bebas dari tuduhan akan tetapi ia telah kehilangan jabatannya sebagai kepala Marga.

LEGENDA DARI KAYUAGUNG


Sebagai Ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir, kayuagung merupakan daerah yang sangat penting peranannya di kabupaten ini. Selain penduduk asli, ditempat ini bermukiman penduduk yang berasal dari berbagai daerah, tidak hanya dilingkungan Sumatra Selatan tapi juga dari luar propinsi. Masyarakat kayuagung Asli, menyimpan kisah yang sangat unik, sebagaimana yang dituturkan oleh berbagai sumber tradisional dan modern.

Perkisahan dibawah ini, yang didasarkan pada beberapa sumber termasuk karya Dodoh Bihantarti Toponim Masyarakat Kayuagung, diterbitkan oleh Kandep Dikbud Ogan Komering Ilir, Noor Indones dan A Rahman pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan Tanah secara Tradisional Daerah Sumatra Selatan Dekdikbud SumSel. Perkisahan ini melukiskan proses pembentukan identitas masyarakat kayuagung.

Asal Usul

Penduduk dalam Marga kayuagung berasal dari dua keturunan atau poyang. Keduanya,

yaitu keturunan yang berasal dari Abung Bungamayang dan dari Skala Berak yaitu Komering-Batak. Abung Bungamayang mula-mula menempati daerah di sekitar Sungai Hitam Lempuing, dengan leluhurnya bernama Mekodum Mutaralam. Sedangkan keturunan yang berasal dari Skala Berak mula-mula bertempat tinggal di Batu Hampar Kijang poyang yang bernama Raja Jungut.

Menurut cerita tutur yang beredar di kalangan masyarakt setempat, Puyang Mekodum Mutaralam. Ini berasal dari Abung Bungamayang yaitu suku bangsa yang terdapat di kresidenan Lampung Utara yang bernama Siwo Mego di daerah Wai Kunang.

Pada awalnya, orang Abung tinggal di Wai Kunang dengan maksud untuk mencari tempat tinggal di Komering, akan tetapi lantaran mereka terdesak dalam suatu peperangan, maka mengundurkan diri memasuki sungai Macak, keluar ke sungai Lempuing. Di daerah inilah kemudian orang Abung menetap.

Tempat yang mula-mula diduduki orang Abung ialah Kotapandan di daerah Sungai Hitam yaitu anak sungai Lempuing. Komunitas itu dipimpin langsung oleh Mekodum Mutaralam. Setelah meninggal dunia, ia digantikan oleh puteranya yang bergelar Raden Sederajat. Ketika Raden Sederajat wafat ia digantikan oleh puteranya bernama Indera Bumi.

Indera Bumi mempunyai dua putera laki-laki yaitu Setiaraja Diyah dan Setia Tanding. Tokoh yang namanya disebutkan pertama, yaitu Setiaraja Diyah yang menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pimpinan orang Abung Bungamayang katika beliau wafat. Dalam memimpin, ia dibantu oleh jurutulis Setiabanding Sugih. Kedudukannya berada di kotapandan.

Pada masa kepemimpinan Setiaraja memimpin, maka ditetapkanlah adat istiadat kemasyarakatan oleh patih Gajahmada.Adat istiadat itu berisi peraturan tentang adat istiadat pedusunan, adat bujang gadis,dan masalah etika lainnya. Pada masa ini di ajarkan pula penulisan dengan menggunakan aksara Surat Rencong.

Untuk mengatasi jumlah penduduk yang telah berkembang, pada masa kekuasaan Setiaraja Diyah Ini di lakukan pengembangan wilayah dengan membuka perkampungan sekaligus penempatan penduduk sekitar sungai lempuing, dengan nama Bulu Nawa. Ditempat baru ini diselenggarakan pula pemerintahan baru, yang masih berinduk pada kekuasaan lama yang berkedudukan dikota Pandan.

Lambat laun, Bulu Nawa manjadi suatu tempat yang ramai dan maju. Kondisi ini mengundang kedatangan orang-orang yang berasal dari tempat-tempat yang jauh, termasuk orang-orang asing untuk mencari penghidupan. Bulu Nawa mulai di kenal sebagai tempat perdagangan. Karena telah menjadi sangat maju, sampai-sampai Setiaraja Diyah menggabungkan diri dengan negeri Bulu Nawa.

Setiaraja Diyah menikahkan Putri nya si Rambut Putih dengan Ratu Aji. Tokoh yang di sebutkan terahir ini adalah memiliki kehebatan yang sangat tinggi sehingga di sebut sebagai dewa suku Milung yang pertama kali turun ke dunia. Menantu Setiaraja Diyah yang hebat ini menerima gelar Depati Jorang Angkatan dan ia menggantikan Setiaraja Diyah.

Depati jorang Angkatan mempunyai anak bernama Depati punya Bumi. Anak inilah yang menggantikannya setelah ia mangkat. Depati punya Bumi selanjutnya di gantikan oleh Depati Lanang, yang setelah mangkat digantikan anaknya Depati Bungkuk.

Akan halnya saudara Setiaraja Diyah, yaitu Setia Tanding telah berpindah tempat

Ke pematang Bidara. Dalam kedudukannya sebagai pimpinan di pematang Bidara, ia selanjutnya digantikan oleh putera nya yang dikenal dengan sebutan Setia Kujang. Setia Kujang merasa kurang cocok di Pematang Bidara sehingga selanjutnya berpindah lebih ke hilir sungai, di suatu tempat sebelah hilir Muara Burnai sekarang. Setelah mangkat, Setia Kujang digantikan oleh puteranya Setia Landai. Setia Landai berkedudukan di kota Besi, sementara depati Bungkuk tetap berkedudukan di Bulu Nawa.

Malang tidak dapat di hindarkan, pada masa kekuasaan kedua tokoh ini kota Besi dan Bulu Nawa secara bersamaan di serang oleh banjir sehingga keduanya, bersamaan seluruh rakyat pindah ketempat lain yang lebih aman. Setia Landai mendapatkan tempat di Pematang Sudahutang yaitu di berada di hulu Pedamaran sekarang, dan di beri nama Perigi. Sementara Setia Bungkuk mendapatkan tempatnya di Tanjung Beringin di tepian Batanghari Mesuji.

Pada waktu mengungsi lantaran banjir, Depati Bungkuk membawa seperangkat gamelan yang diberi nama Tale Seratus. Kini gamelan itu telah tidak ada lagi karena telah dijual oleh salah seorang diantara keturunannya, yaitu Depati Kemala Anom.

Depati Bungkuk mempunyai dua orang anak yaitu Purbajaya, dan yang satu lagi Depati Punya Bumi Muda yang kemudian menggantikannya memimpin dalam komunitas di Tanjung Beringin itu. Pada masa kekuasaan Depati Punya Bumi, masyarakat Abung yang berada di Tanjung Beringin berpindah tempat kehilir Pematang Sudahutang yaitu Perigi.

Akan tetapi karena Perigi telah dipimpin oleh Setia landai maka Depati Punya Bumi Muda berada di bawah kekuasaan Setia Landai. Setia Landai sendiri, setelah wafat digantikan oleh puteranya Depati Jana dan memindahkan masyarakatnya dari pematang Sudahutang ke suatu dusun yang baru diberi nama Perigi pula. Pemindahan itu merupakan hasil mufakat antara Depati Jana dengan tokoh yang berasal dari skala Berak yang berkedudukan di Batuampar, yaitu Tuan Pegaduh.

Karena terjadi pernikahan antara Surapati, anak Depati Jana dengan puteri Tuan Pegaduh yang bernama Dayang Sekara, maka Tuan Pegaduh memindahkan masyarakat dusunnya dari Batuampar ke suatu tempat masih ditepi sungai Komering. Tempat ini di kembangkan menjadi suatu dusun yang ramai. Lantaran di dusun itu di beri nama Kayuagung.

Setelah berdiri dusun perigi dan kayuagung, maka masyarakat di dusun Sudahutang banyak yang meninggalkan tempat kediamannya semula. Ada yang pindah dan menetap di hulu dusun Perigi dan diberi nama Kotaraya. Kotaraya di pimpin oleh Departi Punya Bumi Muda. Sebagian lagi, penduduk Sudahutang pindah ke suatu tempat di seberang kayuagung dan di beri Sukadana. Sukadana di pimpin oleh saudara Depati Punya Bumi Muda yang bergelar Purbajaya.

Depati Punya Bumi Muda berganti gelar menjadi Depati Kemalaratu Anom. Tokoh yang akan memangku jabatan kepala dusun, hendak lah di pilih oleh orang-orang Abung Bungamayang yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Raja Diyah dan Setia Tanding.

Selanjutnya, dusun Sukadana kemudian dimekarkan kepada dusun Jua-Jua dan dipimpin oleh Tuan Jimat. Begitulah, tempat ini terus berkembang mencapai sembilan sehinga disebut dengan Morge Siwe atau Sembilan Marga. Suhunan di Palembang merasa memerlukan seorang untuk membantunya mengatur kesembilan dusun itu. Untuk itu dipilihlah salah seorang di antara pimpinan kesembilan dusun itu. Tokoh yang dipilih adalah Depatiraja Ikutan Muda.

Dari Sukadana. Dalam kedudukan tersebut, Depatiraja Ikutan Muda diberi seperangkat atribut kebesaran oleh Suhunan palembang berupa satu payung perada atau emas, dua keris, tiga bilah pedang, dua pucuk tombak bertopang perak, satu lampit ulung, satu kajang seremang dari kain hitam bermotif bunga prada, dan sebuah gong.

Gong pemberian suhunan sebagai atribut kebesaran ini memiliki keunikan tersendiri yang legendaris. Diceritakan bahwa apabila seorang diantara keturunan Raja Ikutan Muda meninggal dunia maka gong itu bersuara dengan sendirinya.

Depati Raja Ikutan Muda diganti oleh putera saudaranya Depati Mahmud dengan gelar Ingganta yaitu anak Depati Mulia Jaya. Pada masa ini daerah tersebut takluk pada pemerintahan kolonial Belanda. Sejak masa itu pula terjadi susunan pemerintahan.

Kisah di Balik Nama

Sampai saat pemerintahan marga dibubarkan, dilingkungan marga Kayuagung telah berkembang manjadi 19 dusun, yaitu Sukadana, Paku, Mangun Jaya, Sida Kersa, Jua-Jua, Kayuagung, Perigi, Kotaraya, Kedaton, Celikah, Kijang Ulu, Muara Burnai, Tanjungsari, Lubuk Seberuk, Rantau Durian, Sungai Belida, Secupak, Tebing Suluh, dan Cahya Bumi. (Dewasa ini, jumlah itu telah bertambah).

Setiap nama dusun tersebut memiliki cerita tersendiri sebagai asal-usulnya, sebagaimana dipaparkan berikut.

Sukadana, dinamakan Sukadana karena lebak dari dusun itu mengelilingi sebuah danau. Pada mulanya dusun ini bernama Suka Danau, tapi lama kelamaan berubah penuturannya menjadi Sukadana. Sementara itu dusun Paku, dinamakan demikian memiliki latar belakang peristiwa berhubungan dengan tumbuhan paku atau sejenis pakis. Menurut cerita, pada waktu merintis dusun ini, Tuan Mekedum alias Bucit terjatuh kedalam pusaran air di Lubukbaru. Tempat ini berada di sebelah selatan dusun Jua-Jua. Pada waktu terjatuh itu ia dapat berpegang pada serumpun tumbuhan paku dan lantaran itu ia selamat dari pusaran air. Untuk memperingati peristiwa ini dusun ini dinamakan dengan dusun Paku. Menurut cerita, Bucit menjadikan paku sebagai suatu tumbuhan patangan untuk dimakan.

Mangun Jaya, berasal dari nama seseorang pimpinan yang merintis di buatnya dusun ini. Namanya adalah si Mangun, sedangkan jaya berarti sukses atau kejayaan. Sida Kersa, diambil dari penggunaan tempat ini pada zaman dahulu sebagai tempat orang penghukuman. Dalam bahasa kayuagung, orang hukuman disebut Dersa. Kata ini selanjutnya di pandang sebagai kata dasar yang setelah melalui penuturan dari masa ke masa menjadi Sida Kersa. Jua-Jua di ambil dari nama ikan Juwa-juwa yaitu semacam ikan ikan seluang. Karena mengikuti penuturan lama kelamaan kata juwa-juwa berubah menjadi Jua-Jua.

Kayuagung, disebut demikian sebagaimana telah disinggung terdahulu ialah karena ditengah-tengah dusun ini terdapat sebatang kayu yang sangat besar. Sekarang kayu itu sudah tidak ada lagi. Perigi, dinamakan Perigi karena pada waktu mendirikannya didusun ini ada sebuah kolam atau Perigi. Lagi pula nama ini merupakan pindahan dari nama dusun di Pematang Sidahutang. Selanjutnya Kotaraya, dusun ini merupakan pindahan dari dusun yang pada masa sebelum bencana banjir besar, sangat ramai. Sedangkan kedaton disebut demikian karena didirikan di atas daratan yang dahulu bernama Talang kedaton. Sedangkan Celikah dan dusun Muara Burnai memperoleh nama demikian lokasi dusun ini terletak pada muara sungai Burnai anak sungai Lempuing. Demikian pula halnya dengan Tanjung sari yang memperoleh namanya lantaran berada pada Tanjungan sungai. Dusun tanjungsari sangat mudah terlihat dari arah hulu maupun hilir sungai sehingga tempat ini menjadi sangat strategis untuk melakukan berbagai kegiatan sosial-budaya.

Lubuk Seberuk memperoleh nama demikian karena di tempat itu terdapat suatu lubuk yang banyak berisi ikan seberuk, sedangkan Rantau Durian dahulu merupakan suatu tempat berkebun durian. Sungai Belida mengambil nama sungai yang melintas di dusun itu, sedangkan dusun Secupak dinamakan Secupak karena terletak ditepian sebuah tempat yang bernama Tembaku Secupak.

Nama Cahaya Bumi berasal dari rasa optimisme masyarakat pada awal tempat itu dibangun menjadi suatu perkampungan. Penduduk ditempat ini berasal dari dusun Belitang Komering Ilir Ulu. Mereka datang kesini maksud dengan mencari penghidupan yang lebih baik, dan merasakan bahwa di dusun ini mereka memang memperoleh perbaikan hidup yang lebih sejahtera. Oleh karenanya mereka menamakan tempat yang baru ini dengan Cahya Bumi yaitu daerah yang memberikan sinar atau harapan.

Di antara sembilan belas dusun yang disebutkan tadi, hanya dusun kayuagung yang di huni oleh keturunan dari Skala Berak, sedangkan dusun lain oleh keturunan Abung Bungamayang.

Selanjunya kayuagung pernah memiliki peranan yang sangat penting sebagai “ibu kota)” onder-efdeeling Komering Ilir, disamping Tanjung raja sebagai ibu kota onder-afdeeing Ogan ilir. Dewasa ini, kayuagung merupakan ibu kota Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More